Pemulihan Ekonomi 2010 Sangat Rentan


http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/15/0749170/Pemulihan.Ekonomi.Tahun.2010.Sangat.Rentan

Ekonomi Indonesia tahun 2010 diprediksi tumbuh 5,7 persen, lebih tinggi dari 2009 yang hanya 4,4 persen. Namun, pertumbuhan itu sangat bergantung pada dana spekulatif berjangka pendek, utang berbunga tinggi, dan kenaikan harga komoditas.

Oleh karena itu, kata pendiri Econit, Rizal Ramli, dalam diskusi terbatas ”Proyeksi Ekonomi 2010: Tahun Penentuan”, Kamis (14/1) di Jakarta, hal itu akan membuat pemulihan ekonomi Indonesia 2010 sangat rentan.

Dia menjelaskan, penuntasan masalah dana talangan Bank Century menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan bahwa Indonesia konsisten menegakkan hukum. ”Hambatan lain adalah rendahnya daya saing,” kata Rizal.

Pertumbuhan ekonomi 2010 yang diprediksi 5,7 persen, menurut Rizal, relatif rendah dibandingkan dengan potensinya. Selain itu, pertumbuhan itu berkualitas rendah karena didorong konsumsi, kenaikan harga komoditas, utang berbiaya tinggi, banjirnya dana spekulatif jangka pendek, dan hot money.

Kinerja ekspor diperkirakan tumbuh 9 persen, tetapi hanya didominasi komoditas primer, seperti minyak dan gas, batu bara, serta logam.

Perdagangan bebas

Dengan berlakunya Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China, kata Rizal, akan terjadi percepatan impor barang konsumsi. ”Deindustrialisasi berlanjut dan mendorong perlambatan pertumbuhan impor bahan baku dan mentah,” kata dia.

Percepatan deindustrialisasi dan kian ketatnya persaingan di era pasar bebas ASEAN-China akan menghambat pemulihan berbagai sektor ekonomi. Ini karena persoalan daya saing.

”Untuk membangun industri kompetitif butuh perbaikan infrastruktur, membangun industri olahan dan komponen produksi, suku bunga dan nilai tukar rupiah jangan terlalu kuat, tingkatkan produktivitas,” ujar dia.

Direktur Eksekutif Econit Advisory Group Hendri Saparini mengatakan, keputusan Indonesia mempercepat liberalisasi tak diikuti penyiapan ekonomi untuk memasuki kompetisi yang makin ketat. Padahal, semua negara yang berhasil membangun industri kompetitif dan produktif, strategi dan kebijakan industri menjadi salah satu prasyarat wajib.

Hal itu jadi referensi bagi pembangunan industri utama dan penyiapan industri pendukung, yang jadi landasan pemerintah dalam menjalin kerja sama. ”Tanpa ada referensi, akan terjadi banyak urutan prioritas kebijakan yang salah,” kata dia.

Dia menegaskan, keputusan mendahulukan liberalisasi sektor keuangan tanpa menunggu kesiapan sektor riil adalah salah langkah. ”Gejolak indikator finansial akan mengganggu kinerja sektor riil,” ujar Saparini. (EVY)

0 komentar:

Posting Komentar